PARADIGMA ISLAM TENTANG
ILMU PENDIDIKAN
A. Hakikat
Ilmu Pendidikan
ٱقۡرَأۡ
بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ ١ خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ
عَلَقٍ ٢ ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ ٣
ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ ٤
عَلَّمَ
ٱلۡإِنسَٰنَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ ٥
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah,
dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang
mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.”
Tarikh Nabi
memberitakan bahwa para tawanan perang Badar dipekerjakan Nabi untuk mengajari
orang Islam membaca dan menulis. Tidak ada kewajiban agama yang mengatakan
bahwa orang harus belajar dari orang muslim, atau harus belajar ke Mekkah dan
Madinah. Kewajban agama hanya belajarnya, sedangkan sumber atau tempatnya tidak
ditentukan oleh agama, alias ditentukan berdasarkan kriteria objektif.
Agama Islam
merupakan agama yang sempurna, agama yang berdasarkan wahyu Allah tetapi tidak
semua ajarannya bersifat doktriner. Ada beberapa hal yang ketika dikaitkan
dengan ilmu pengetahuan, Islam mampu menjadi sebuah agama sebagai objek kajian
ilmiah.
Kuntowijoyo
dalam buku Islam sebagai Ilmu menjelaskan bahwa objektifikasi ilmu adalah ilmu
dari orang yang beriman untuk seluruh manusia, tidak hanya untuk orang beriman
saja.
Gambar 1
Alur
pertumbuhan Ilmu-ilmu Integralistik[1]
Keterangan:
Agama. Al-Qur’an merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri dan lingkungan (fisik, sosial, budaya).
Kitab yang diturunkan itu merupakan petunjuk etika, kebijaksanaan, dan dapat
menjadi setidaknya Grand Theory (sistem ekonomi).
Teoantroposentrisme. Agama
memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hokum, kebijaksanaan dan
sedikit ilmu pengetahuan. Agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan kecerdasan manusia, atau
sebaliknya, menganggap pikiran manusia sebagai satu-satunya sumber pengetahuan
dan melupakan Tuhan. Jadi, sumber pengetahuan itu dua macam, yaitu berasal dari
Tuhan dan yang berasal dari manusia, dengan kata lain teoantroposentrisme.
Dediferensiasi (rujuk kembali). Kalau diferensiasi
menghendaki pemisahan antara agama dan sector-sektor kehidupan lain, maka dediferensiasi
ialah penyatuan kembali agama dengan sector-sektor kehidupan lain, termasuk
agama dan ilmu.
Agama menyediakan tolok ukur kebenaran ilmu (benar,
salah), bagaimana ilmu diproduksi (baik, buruk), dan tujuan-tujuan ilmu
(manfaat, merugikan). Selebihnya adalah hak manusia untuk memikirkan dinamika
internal ilmu. Ilmu yang lahir dari induk agama harus menjadi ilmu yang
objektif. Artinya, suatu ilmu tidak dirasakan oleh pemeluk agama lain,
non-agama, dan anti-agama sebagai norma, tapi sebagai gejala keilmuan yang
objektif semata.
Ilmu integralistik. Ilmu
yang menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran
manusia (ilmu-ilmu integralistik) tidak akan mengucilkan Tuhan (sekulerisme)
atau mengecilkan manusia (other worldly asceticisme).
Akal melakukan fungsinya sebagai alat untuk memahami apa
yang tersirat di balik yang tersurat, dan dari padanya ia menemukan rahasia
kekuasaan Tuhan, lalu ia tunduk dan patuh kepada Allah, maka pada saat itulah
akal dinamai pula al-qalb. Pemahaman terhadap potensi berpikir yang
dimiliki akal tersebut memiliki hubungan yang erat dengan pendidikan. Hubungan
tersebut antara lain terlihat dalam merumuskan tujuan pendidikan. Benyamin
Bloom, cs., dalam bukunya Taxonomy of Educational Objective (1956) membagi
tujuan-tujuan pendidikan dalam tiga ranah (domain), yaitu ranah kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Tiap-tiap ranah dapat dirinci lagi dalam
tujuan-tujuan yang lebih spesifik dan hierarkis. Ranah kognitif dan afektif
tersebut sangat erat kaitannya dengan fungsi kerja dari akal. Dalam ranah
kognitif terkandung fungsi mengetahui, memahami, menerapkan, menganalisis,
mensintesis dan mengevaluasi. Fungsi-fungsi ini erat kaitannya dengan fungsi
akal pada aspek berpikir (tafakur). Sedangkan dalam ranah afektif
terkandung fungsi memperhatikan, merespon, menghargai, mengorganisasi nilai,
dan mengkarakterisasi. Fungsi-fungsi ini erat kaitannya dengan fungsi akal pada
aspek mengingat (tazakkur), sebagaimana telah diuraikan di atas. Orang
yang mampu mempergunakan fungsi berpikir yang terdapat pada ranah kognitif dan
fungsi mengingat yang terdapat pada ranah afektif adalah termasuk ke dalam
kategori Ulul al-bab. Orang yang demikian itulah yang akan berkembang
kemampuan intelektualnya, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
emosionalnya dan mampu mempergunakan semuanya itu untuk berbakti kepada Allah
dalam arti yang seluas-luasnya. Manusia yang demikian itulah yang harus menjadi
rumusan tujuan pendidikan, dan sekaligus diuapayakan untuk mencapainya dengan
sungguh-sungguh. Dengan demikian pendidikan harus mempertimbangkan manusia yang
merupakan sasarannya sebagai makhluk yang memiliki akal dengan berbagai
fungsinya yang amat variatif.
B. Keutamaan
Pendidikan
Salah
satu keutamaan pendidikan adalah amar ma’ruf nahi munkar. Dalam al-Qur’an surat
An-Nahl ayat 125: [2]
ٱدۡعُ
إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم
بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ
وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ ١٢٥
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk”.
Potongan ayat yang berbunyi : ٱدۡعُ
إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ
Maksudnya
adalah serulah ummatmu wahai para Rasul dengan seruan agar mereka melaksanakan
syari’at yang telah ditetapkannya berdasarkan wahyu yang diturunkannya, dengan
melalui ibarat dan nasehat yang terdapat di dalam kitab yang diturunkannya. Dan
hadapilah mereka dengan cara yang lebih baik dari yang lainnya sekalipun mereka
menyakitimu, dan sadarkanlah mereka dengan cara yang baik.
Selanjutnya
potongan ayat إِنَّ
رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ maksudnya adalah bahwa sesungguhnya
Tuhanmu wahai para Rasul adalah lebih mengetahui dengan apa yang berjalan dan
diperselisihkan, dan juga lebih mengetahui cara yang harus ditempuh sesuai yang
hak.
Ayat
tersebut menyuruh agar Rasulullah saw menempuh cara berdakwah dan berdiskusi
dengan cara yang baik. Sedangkan petunjuk (al-hidayah) dan kesesatan
(al-dlalal) serta hal-hal yang etrjadi diantara keduanya sepenuhnya
dikembalikan kepada Allah SWT, karena Dia-lah yang lebih mengetahui keadaan
orang-orang yang tidak dapat terpelihara dirinya dari kesesatan, dan
menembalikan dirinya kepada petunjuk.
Keutamaan
pendidikan secara umum adalah:[3]
1. Tujuan
akhir dari pendidikan adalah mengubah sikap mental dan perilaku tertentu yang
dalam konteks Islam adalah agar menjadi seorang muslim yang terbina seluruh
potensi dirinya sehingga dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah dan
abdullah.
2. Proses
pembelajaran yang dilakukan oleh seorang guru memuat informasi, teori, konsep
dan sebagainya yang diperlukan untukmewujudkan tujuan pendidikan. Dari proses
tersebut maka terciptalah pemahaman, penghayatan dan pengamalan.
3. Melalui
pendidikan diharapkan lahir manusia yang kreatif, sanggup berpikir sendiri,
melakukan penelitian dan seterusnya.
4. Mengembangkan
ilmu pengetahuan dan membawa manusia semakin mampu menangkap hikmah di balik
ilmu pengetahuan, yaitu rahasia keagungan Allah SWT.
5. Pengajaran
berbagai ilmu pengetahuan dalam proses pendidikan yang sesuai dengan ajaran
al-Qur’an, akan menjauhkan manusia dari sikap takabur, ateistik, sebagaimana
yang pada umumnya dijumpai pada pengembangan ilmu pengetahuan di masyarakat
Barat Eropa.
6. Pendidikan
mapu mendorong peserta didik agar mencintai ilmu pengetahuan, yang terlihat
dari terciptanya semangat dan etos keilmuan yang tinggi.
C. Ayat
Al-Qur’an Hadits yang Relevan
1) Pendidikan
Matematika
a) Ide
himpunan dalam al-Qur’an[4]
Al-Qr’an surat
al-Fatihah akan dijumpai tiga kelompok atau golongan manusia, yaitu:
(1) Kelompok
yang diberi nikmat oleh Allah SWT (an’amta ‘alaihim),
(2) Kelompok
yang dimurkai (al-maghdhub), dan
(3) Kelompok
yang sesat al-dhallin).
Pada awal surat al-Baqarah akan dijumpai tiga
tergolong manusia, yaitu:
(1) Golongan
orang yang bertaqwa (al-muttaqiin),
(2) Golongan
orang kafir (al-kafirin), dan
(3) Golongan
orang munafik (al-munafirin).
Pada surat al-Waqi’ah, di hari kiamat manusia
dikempokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
(1) Kelompok
terdahulu (al-sabiquna al-awwalun),
(2) Kelompok
kanan (ashhabu al-maimanah atau ashhabu al-yamin), dan
(3) Kelompok
kiri (ashhabu al-mas’amah atau ashhabu al-syimal).
Pada surat Fathir ayat 1:
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ فَاطِرِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ
وَٱلۡأَرۡضِ جَاعِلِ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ رُسُلًا أُوْلِيٓ أَجۡنِحَةٖ مَّثۡنَىٰ
وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۚ يَزِيدُ
فِي ٱلۡخَلۡقِ
مَا يَشَآءُۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ ١
“Segala
puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai
utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap,
masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada
ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.”
Dalam ayat 1 surat al-Faathir ini dijelaskan
sekelompok, seglongan atau sekumpulan makhluk yang disebut maialkat. Dalam
kelompok malaikat tersebut terdapat kelompok malaikat yang mempunyai dua sayap,
tiga sayap atau empat sayap. Bahkan sangat dimungkinkan terdapat kelompok
malaikat yang mempunyai lebih dari empat sayap jika Allah SWT menghendaki.
Al-Qur’an surat Al-Nuur ayat 45:
وَٱللَّهُ خَلَقَ كُلَّ
دَآبَّةٖ مِّن مَّآءٖۖ فَمِنۡهُم مَّن يَمۡشِي عَلَىٰ بَطۡنِهِۦ وَمِنۡهُم مَّن
يَمۡشِي عَلَىٰ رِجۡلَيۡنِ وَمِنۡهُم مَّن يَمۡشِي عَلَىٰٓ أَرۡبَعٖۚ
يَخۡلُقُ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُۚ إِنَّ ٱللَّهَ
عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ ٤٥
“Dan Allah
telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada
yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki sedang
sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang
dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Dalam ayat 45 surat an-nuur dijelaskan sekelompok,
seglongan atau sekumpulan makhluk yang disebut hewan. Hewan merupakan objek
yang jelas. Hewan dalam ayat di atas dibagi menjadi beberapa kelompok:
(1) Kelompok
hewan tidak berkaki,
(2) Kelompok
hewan berkaki dua,
(3) Kelompok
hewan berkaki empat, dan
(4) Kelompok
hewan berkaki lebih dari empat.
b) Relasi
bilangan dalam Al-Qur’an[5]
Mengenai relasi
bilangan dalam al-Qur’an, perhatikan firman Allah AWT dalam Al-Qur’an surat
al-Shaffaat ayat 147:
وَأَرۡسَلۡنَٰهُ
إِلَىٰ مِاْئَةِ أَلۡفٍ أَوۡ يَزِيدُونَ ١٤٧
“Dan
Kami utus dia kepada seratus ribu orang atau lebih”.
Dalam
surat al-Shaffat ayat 147 tersebut dijelaskan bahwa nabi Yunus diutus kepada
umat yang jumlahnya 100000 orang atau lebih. Secara matematika, jika umat nabi
yunus sebanyak x orang, maka x sama dengan 100000 atau x lebih
dari 100000. Dalam bahasa matematika, dapat ditulis
x = 100000 atau x 100000
Masih terdapat
beberapa ayat dalam al-Qur’an yang menyebutkan relasi bilangan. Ada dalam
beberapa redaksi, misalnya:
a. Adnaa
(kurang dari)
Al-Qur’an surat
al-Mujadilah ayat 7:
أَلَمۡ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ
يَعۡلَمُ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِۖ مَا يَكُونُ مِن نَّجۡوَىٰ
ثَلَٰثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمۡ وَلَا خَمۡسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمۡ وَلَآ
أَدۡنَىٰ مِن ذَٰلِكَ وَلَآ أَكۡثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمۡ أَيۡنَ مَا كَانُواْۖ
ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَا عَمِلُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ
شَيۡءٍ عَلِيمٌ ٧
“Tidakkah
kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan
di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah
keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah
keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari
itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun
mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat
apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala
sesuatu”.
Dalam
surat al-Mujadilah ayat 7 tersebut, kata adnaa bermakna kurang dari. Konteks
yang digunakan dalam ayat tersebut adalah banyak orang, yang dalam ayat
disebutkan 3, 4, 5, dan 6. Berdasarkan hal ini, maka kata “kurang dari”
bermakna kurang dari 3, 4, 5, atau 6. Jadi, dapat diambil suatu relasi bilangan
x < 3.
b. Aktsara
(lebih dari)
Pada surat
al-Mujadalah ayat 7 juga disebutkan kata aktsara yang bermakna lebih
dari. Konteks yang digunakan dalam ayat tersebut adalah banyak orang, yang
dalam ayat disebutkan bilangan 3, 4, 5, dan 6. Jadi, dapat diambil suatu relasi
bilangan x > 6.
c) Operasi
bilangan dalam Al-Qur’an[6]
(1) Operasi
penjumlahan
Perhatikan
firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat Al-Kahfi ayat 25:
وَلَبِثُواْ
فِي كَهۡفِهِمۡ ثَلَٰثَ مِاْئَةٖ سِنِينَ وَٱزۡدَادُواْ تِسۡعٗا ٢٥
“Dan
mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun
(lagi)”
Pada
surat al-Kahfi ayat 25 disebutkan operasi bilangan 300=9.
(2) Operasi
pengurangan
Surat al-ankabut
ayat 14:
وَلَقَدۡ
أَرۡسَلۡنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوۡمِهِۦ فَلَبِثَ فِيهِمۡ أَلۡفَ سَنَةٍ إِلَّا
خَمۡسِينَ عَامٗا فَأَخَذَهُمُ ٱلطُّوفَانُ وَهُمۡ ظَٰلِمُونَ ١٤
“Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara
mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar,
dan mereka adalah orang-orang yang zalim”.
Pada
ayat di atas diebutkan operasi pengurangan 1000 – 50.
2) Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia
a) Majas
metafora[7]
Contohnya dalam
al-Qur’an surat Saba’ ayat 19,
... وَمَزَّقۡنَٰهُمۡ كُلَّ مُمَزَّقٍۚ ... ١٩
“...Kami
hancurkan mereka sehancur-hancurnya...”
b) Majas
perbandingan[8]
Contohnya dalam
al-Qur’an surat an-nuurayat 39:
وَٱلَّذِينَ
كَفَرُوٓاْ أَعۡمَٰلُهُمۡ كَسَرَابِۢ بِقِيعَةٖ يَحۡسَبُهُ ٱلظَّمَۡٔانُ مَآءً
حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَهُۥ لَمۡ يَجِدۡهُ شَيۡٔٗا ... ٣٩
“
Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang
datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya
air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun..”
3) Bimbingan
dan Konseling
a) Takut[9]
Q.S. as-Sajdah
ayat 16:
تَتَجَافَىٰ
جُنُوبُهُمۡ عَنِ ٱلۡمَضَاجِعِ يَدۡعُونَ رَبَّهُمۡ خَوۡفٗا وَطَمَعٗا وَمِمَّا
رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ١٦
“Lambung
mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan
penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezeki yang Kami
berikan.”
b) Marah[10]
Dalam al-Qur’an
dijelaskan mengenai emosi marah dan pengaruhnya pada tingkah laku manusia,
seperti penjelasan tentang kemarahan Musa As saat kembali kepada kaumnya dan
mendapati mereka sedang menyembah patung anak sapi terbuat dari emas buatan
Samiri. Musa kemudian melempar lauh-lauh-nya, menjambak dan menarik
rambut saudaranya sambil marah.
“Dan tatkala Musa telah kembali kepada
kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah dia: "Alangkah buruknya
perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului
janji Tuhanmu? Dan Musapun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang
(rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya, Harun berkata:
"Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan
hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan
musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan
orang-orang yang zalim.” (QS.
Al-A’raf: 150)
c) Gembira[11]
Manusia akan
merasa gembira atau bahagia saat mendapatkan apa yang diharapkan dan
diinginkannya seperti harta, kesuksesan, ilmu pengetahuan, keimanan, dan
ketaqwaan. Al-Qur’an menyebutkan dua jenis kegembiraan:
QS. Ar-Ra’d ayat
26
“...Mereka
bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding
dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).”
QS. Yunus ayat
57-58
“Hai
manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan
rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya
itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan’."
DAFTAR PUSTAKA
Abdussakir.
2009. Matematika 1 Kajian Integratif Matematika dan Al-Qur’an. Malang:
UIN-Malang Press
Abuddin
Nata. 2010. Tafsir Ayatayat Pendidikan (Tafsir al-Ayat al-Tarbawiy). Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Kuntowijoyo. 2005. Islam Sebagai
Ilmu, Epistemologi, Metodologi dan Etika. Jakarta: Teraju
M.
Nur Kholis Setiawan. 2005. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta:
eLSAQ Press
Muhammad
Utsman Najati. 2010. Psikologi Qur’an dari Jiwa Hingga Ilmu Laduni. Bandung:
Marja
[1] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu,
Epistemologi, Metodologi dan Etika, (Jakarta: Teraju, 2005), hlm. 55-58
[2] Abuddin Nata, Tafsir Ayatayat Pendidikan (Tafsir al-Ayat
al-Tarbawiy), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 171-172.
[3] Ibid., hlm. 169-170
[4] Abdussakir, Matematika 1 Kajian Integratif Matematika dan
Al-Qur’an, (Malang: UIN-Malang Press, 2009), hlm. 1-4
[5] Ibid., hlm. 75-78
[6] Ibid., hlm. 79-81
[7] M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2005), hlm. 215.
[8] Ibid., hlm. 228.
[9] Muhammad Utsman Najati, Psikologi Qur’an dari Jiwa Hingga Ilmu
Laduni, (Bandung: Marja, 2010), hlm.
59.
[10] Ibid., hlm. 65.
[11] Ibid., hlm. 79.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar